Senin, 27 September 2021

CERPEN: SURAT UNTUKMU DI PARIS

Jika mengingat saat-saat kebersamaan kita dulu, rasanya seperti belum lama jarak merentangkan kita hingga sejauh ini. Namun, jika mengingat silam tahun yang membawaku pergi, segera aku tersadar bahwa betapa waktu telah memisahkan kita begitu lama. Dan, sungguh berdosanya aku, karena tak pernah sekali pun memberi kabar kepadamu. Bahkan menghubungimu untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata pun, tidak. Padahal sebenarnya, sangat besar keinginanku bisa mendengar lagi suaramu.
    
Aku merindukanmu, itu sudah pasti. Namun bukan itu alasanku menulis surat ini. Aku hanya sangat ingin mengatakan tentang hal-hal yang selalu ingin kukatakan padamu sejak dulu, yang tak pernah bisa kukatakan karena kekhawatiran-kekhawatiran yang kerap mengusikku. Perihal-perihal itu, andai saja aku berhasil mengatakannya sebelum akhirnya kutinggalkan perdebatan panas kita di meja dapur apartemenmu waktu itu, untuk kemudian pergi mengikuti anganku, sungguh aku pasti takkan dihantui rasa bersalah kepadamu. Aku sangat menyesal.
 
Namun, ya, semuanya memang sudah berlalu. Tak ada gunanya lagi aku menyesali semua itu. Dan aku yakin, kau pun pasti telah memaafkanku. Sebab kau adalah kakakku, satu-satunya saudara dan keluargaku. Kau takkan menyimpan dendam padaku hanya karena perdebatan kita itu. Namun begitu, biarkan aku menjelaskan alasanku pergi waktu itu. Agar setidaknya, aku lepas dari rasa bersalah yang menghantui seumur hidupku. 
 
Barangkali kau masih ingat, sewaktu kita kecil dulu, di ruang keluarga apartemen orang tua kita yang hangat, Ibu pernah bercerita tentang sebuah negeri yang ingin sekali ia kunjungi kepada kita berdua. Sebuah negeri, yang selalu dapat membuatnya menjatuhkan air mata setiap kali mengingatnya. Ya, Indonesia. Negeri yang kemudian kau anggap menyimpan sekelumit bahaya untuk kita. Negeri yang akhirnya kutuju, dan membuatku meninggalkanmu, sendirian di Paris. 
 
Apa kau tahu, ketika sepasang mata Ibu tiba-tiba menjadi basah saat menceritakan negeri itu saat pertama kalinya kepada kita itu, aku sebenarnya sudah bisa merasakan bahwa bukan cuma kerinduan untuk negeri itu saja yang Ibu simpan dalam dadanya. Aku bisa merasakan gejolak yang begitu hebat ketika Ibu mengecup ubun-ubun kita bergantian setelah mengakhiri ceritanya. Dan gejolak itu, meskipun ia tutupi karena mengingat usia kita yang memang belum pantas untuk tahu apa penyebabnya, telah membuatku begitu bertekad ingin membawa Ibu ke negeri itu suatu hari nanti. 
 
Aku lantas menyampaikan keinginanku itu pada Ibu beberapa bulan kemudian. Suatu pagi, ketika kau belum pulang dari sekolah, juga di ruang keluarga kita itu, yang kebetulan sedang ada Ayah menonton drama kesayangannya di TV: Arsene Lupin, aku berkata pada Ibu yang tengah sibuk dengan kertas-kertas dan pena: “Bu, aku akan membawa Ibu ke Indonesia jika aku besar nanti. Ibu tunggu saja.”
 
Apa kau tahu apa yang terjadi setelah aku mengatakan itu? Ayah dan Ibu sontak menatapku dengan mata terbelalak, dan mereka kemudian saling pandang sekejap seperti dua orang yang mendadak mendapat kejutan yang tak disangka-sangka. Ayah yang merasa bingung dan segera membatin bahwa Ibulah yang telah membuatku tahu nama negeri itu, kemudian menuntut pertanggungjawaban Ibu. 
 
Kata Ayah dengan nada suara yang terdengar jelas menahan kesal, “kau bilang apa saja pada bocah lelaki kecilku ini? Mengapa dia bicara soal Indonesia?” 
 
Namun bukannya menjawab jujur, Ibu malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, seolah menolak tanggung jawab yang dituntutkan Ayah padanya. 
 
Ayah yang melihatku menantikan jawaban Ibu pun mau tak mau jadi harus menyudahi kesenangannya—berhenti menonton drama yang diadaptasi dari novel karya Maurice Leblanc itu—lalu membawaku ke ruang lukisnya yang jarang sekali bisa kita masuki. Di sana, ia menarikku mendekati meja yang kemudian ia bentangkan selembar kertas nan lebar di atasnya. “Ini adalah peta dunia,” katanya padaku yang memang belum mengenal nama kertas lebar itu dulu. “Di sini, seluruh negeri yang ada di dunia, bisa kita lihat di mana letaknya.”
 
Tentu aku jadi tahu letak dan bentuk pulau-pulau negara Indonesia setelah melihat peta itu. Tapi karena tak bisa membayangkan seberapa jauhnya negeri itu dari Perancis, negara kelahiran kita, maka Ayah pun menjelaskan padaku, bahwa jika ingin sampai ke sana, butuh waktu berhari-hari bila menumpang kapal, dan butuh uang yang banyak bila menumpang pesawat. 
 
Kau tahu, apa yang kupikirkan begitu mendengar penjelasan Ayah itu? Ya, nampaknya aku harus jadi lelaki kaya terlebih dahulu, agar bisa sampai ke negeri itu dengan cepat dan mudah. 
 
Tetapi, bukan itu sebenarnya yang menjadi kejutan bagiku waktu itu. Melainkan mengetahui bahwa Ayah dan Ibu takkan bisa lagi kembali ke negeri itu. Ya, negeri yang ternyata adalah negeri kelahiran mereka. Bisakah kaubayangkan, bagaimana jerinya hati anak yang baru berusia enam tahun, terpaksa harus mendengar tragedi memilukan yang menimpa kedua orang tuanya, yang mana tragedi itulah menjadi penyebab mereka tak bisa kembali ke negeri itu, langsung dari mulut Ayahnya sendiri? Aku sampai mimpi buruk beberapa malam setelah mendengar itu.
 
Aku tahu bahwa kau pun sudah tahu mengenai tragedi itu. Namun begitu, perkenankan aku mengisahkannya kembali dalam surat ini. Semata-mata hanya untuk mengungkapkan gelisah yang kurasakan sejak tragedi itu kuketahui, dan membuatku akhirnya pergi meninggalkanmu dulu. 
 
Jujur saja. Mulanya, aku merasa tragedi yang merundung orang tua kita itu tak ubahnya dongeng belaka. Ayah yang menceritakannya dengan gayanya yang sangat ekspresif, sungguh membuatku terpana jadinya dengan cerita itu, sehingga hampir lupa aku bahwa tragedi itu memang sungguh nyata. 
 
Kata Ayah dalam ceritanya itu: ada tujuh orang jenderal dibunuh di sebuah tempat bernama Lubang Buaya. Aku masih ingat sekali bagaimana sepasang mata Ayah menerawang kenangan pahit yang ia alami setelah tragedi pembunuhan para jenderal itu, sepanjang ia menceritakannya. Ia melanjutkan: ada sebuah kelompok—waktu itu, Ayah tak menyebutnya “Partai” karena mengira aku pasti takkan mengerti dengan kata itu—yang bernama PKI, dituduh sebagai pelaku pembunuhan para jenderal itu. Sehingga orang-orang yang diduga turut menjadi bagian dari kelompok itu, akhirnya diburu hingga ke mana-mana. Begitu dapat, mereka ditahan, disiksa, bahkan sampai ada yang dibunuh.
 
Ayah kemudian terlihat sangat sedih setelah itu, ya, aku masih mengingat raut mukanya. Tapi ia tetap lanjut mengatakan, bahwa betapa sial jadinya dirinya setelah mencuatnya berita kematian tujuh Jenderal itu. Sebab ia yang hanya seorang pelukis dan tak paham sedikit pun soal politik dan ideologi yang hendak ditumpas aparat yang kemudian jadi murka, turut pula diburu, karena kebetulan ia memang tergabung dalam salah satu organisasi yang juga berada dalam kendali PKI waktu itu. Maka demi menghindari perburuan, ia pun memutuskan lari dari kotanya hingga ke beberapa kota di pulau Sumatera dan Kalimantan. Lalu, ketika mendapat celah untuk keluar dari Indonesia, ia terbang ke Belanda untuk menetap di sana hingga beberapa bulan. 
 
Dari Belanda, barulah Ayah berpindah ke Paris, Perancis. Alih-alih ingin mendapatkan suaka sementara setelah berpindah dari Negeri Kincir Angin itu, ia ternyata malah menetapkan hati untuk tinggal selamanya di Paris, lantaran telah jatuh hati pada seorang perempuan yang ternyata sama nelangsanya dengan dirinya. Ya, kau tahu perempuan itu adalah Ibu.

Bertahun-tahun setelah mendengar cerita Ayah di ruang lukis itu, tepatnya ketika telah menginjak sebelas tahun usiaku, pikiranku akhirnya mulai bisa berpikir kritis. Kau tahu? Aku memikirkan lagi cerita Ayah di ruang lukisnya itu dengan membuat penghakiman: bahwa betapa bodoh dan pecundangnya Ayah kita itu. 
 
Kita sama-sama tahu bahwa ia bukanlah orang yang turut serta membunuh para jenderal itu, dan bukan pula termasuk penganut ideologi yang ditumpas aparat setelah tragedi pembunuhan itu. Jangankan menganutnya, kita bahkan tahu betul bahwa ia memang tak mengerti sedikit pun soal itu. Ia hanya mengerti soal kanvas, cat, dan kuas. Jadi, kenapa ia harus lari? 
 
Aku akhirnya menanyakan itu langsung pada Ayah ketika kutemukan satu kesempatan sedang berdua dengannya. Kau tahu apa jawabannya? Dengan raut muka yang nampak ragu, ia berkata, “ada saatnya di mana keberanian dan keyakinanmu terhadap suatu kebenaran lebih baik dikubur dalam-dalam. Terlebih bila yang dihadapi adalah kesalahpahaman yang sedang mendapatkan dukungan suara dan gerakan kelompok mayoritas yang sebenarnya tidak paham betul akar masalahnya, namun terlanjur dibuat berang. Sia-sia saja melawan.
 
Jika kau pernah menanyakan hal yang sama, lalu Ayah menjawab dengan jawaban yang ternyata juga sama seperti itu, kira-kira apa pendapatmu? Apakah kau akan menganggap langkah yang Ayah lakukan adalah hal yang benar, atau justru salah? Sungguh aku ingin sekali sebenarnya mendengar jawabanmu secara langsung.
 
Namun sekiranya boleh aku menebak, kukira kau sepertinya akan menjawab: Ayah telah melakukan hal yang benar. Ya, kau pasti akan mengatakan itu. Benar, kan? Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Mengingat bagaimana bersikerasnya kau ingin menggagalkan niatku untuk pergi akhirnya ke Indonesia dulu, tentulah kau akan membenarkan tindakan lelaki jangkung yang tak pernah memarahimu itu. 
 
Lantas, bagaimana dengan Ibu?
 
Aku tak pernah tahu kapan kau mulai tahu derita yang dialami Ibu atas tragedi itu. Namun jika kau ingin tahu kapan aku mengetahuinya, adalah juga saat usiaku masih sebelas tahun. Saat pertanyaan tentang pelarian Ayah mengusik pikiranku. 
 
Seperti halnya Ayah, tuduhan “Komunis” pun melekat pada Ibu, kata Ibu ketika aku mengganggu kesibukannya di dapur. Dan seperti yang kita tahu, Ibu kita yang berparas cantik khas perempuan Asia dan berhati lembut itu selalu mudah menjatuhkan air matanya setiap kali pikirannya terbawa kembali ke kenangan itu. Pipinya sampai kuyup saat menceritakan kisahnya padaku waktu itu. 
 
Di akhir cerita Ibu, aku menemukan dua hal yang membedakan pengalaman Ibu dan Ayah atas tragedi itu. Pertama: Ibu tak lari dari Indonesia, melainkan tak bisa pulang. Kedua: Ibu cukup paham dengan ideologi ciptaan Karl Marx yang juga akhirnya runtuh di Uni Soviet itu, tapi tidak menganutnya sebagai landasan pemikiran-pemikirannya.
 
Pada akhir Juni tahun 1965, Ibu memutuskan berangkat ke Thailand untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2. Sebelum masuk semester pertama perkuliahan, ia sempat memutuskan kembali beberapa hari ke Indonesia pada pertengahan bulan Juli untuk mengambil beberapa barang penting miliknya. “Sekaligus ingin bertemu dengan Nenekmu, Mama Ibu, yang masih sering sedih karena baru ditinggal mati suaminya (Kakekmu) setahun sebelumnya. Ibu pulang sekejap agar ia tak tambah sedih,” katanya sambil menatap lekat mataku, sebagai tambahan alasan kepulangannya ke Indonesia waktu itu. Namun malang, setelah keberangkatannya kembali ke Thailand, Ibu sungguh tak pernah bisa kembali lagi ke Indonesia setelah itu. Bahkan ketika Nenek (Ibunya) akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung pada pertengahan Oktober 1965, Ibu benar-benar tak bisa pulang walau barang sekejap. Karena tepat pada tanggal 30 September 1965—tanggal meledaknya tragedi itu—keluarganya telah melarang keras ia kembali ke Indonesia. 
 
Keluarga Ibu pun percaya kalau Ibu bukanlah penganut komunisme. Hanya saja, keluarganya melarang keras ia kembali, karena ia adalah wartawan di salah satu media yang loyal pada PKI kala itu. Sebagaimana kabar penangkapan terduga antek dan simpatisan PKI yang beredar luas dan beringas saat itu, sudah cukup membuat keluarganya yakin kalau ia pun akan dianggap sebagai virus berbahaya lantaran pekerjaannya tersebut. 
 
Aku masih ingat apa yang dikatakan Ibu sebagai penegasan bahwa dirinya bukanlah orang yang hidup dalam pemikiran komunis, saat itu. Dengan sedikit tersenyum, ia mengatakan, “hanya karena kau tinggal satu atap dengan sekelompok Muslim, Katholik, Buddha, Hindu, atau Yahudi; bukan berarti kau juga pasti memeluk agama yang sama, kan?! 
 
Sungguh, Aku melihat jelas bara yang marak di mata Ibu setelah mengatakan itu. Bara yang kuduga marak karena mengingat Kakaknya yang hilang kabar tiga minggu setelah berita kematian para jenderal di lubang buaya itu. Kakaknya tersebut, adalah lelaki kedua yang ia sayangi setelah Ayahnya, karena satu-satunya saudara yang ia punya. Katanya: tak ada seorang pun keluarganya yang mengetahui kabar Kakaknya tersebut, bahkan hingga kini. 
 
Tak hanya Kakaknya, beberapa sanak saudara mereka pun ikut ditangkap sebulan setelah Kakaknya itu hilang kabar. Ditangkap karena diduga memiliki kedekatan dengan organisasi atau institusi yang bernaung di bawah PKI. Hanya Nenek dan kerabat-kerabatnya yang telah sepuh sajalah yang tak ditangkap. Namun meski tak ditangkap, hidup para orang tua sepuh itu pun tetap saja jauh dari kata tenang. Lantaran pikiran mereka yang tak henti-hentinya gelisah memikirkan nasib anak dan keluarga mereka yang ditangkap lalu tak jelas entah ke mana rimbanya, dan karena militer pun terus-menerus menyatroni dan mengintai tempat tinggal mereka.
 
Mengetahui keadaan keluarganya sangat menyedihkan, di Thailand, Ibu akhirnya memutuskan menunda perkuliahannya. Dan karena keinginannya pulang ke Indonesia pun ditentang, ia lantas terbang ke Eropa begitu mendapat kabar bahwa seorang kawannya kebetulan sedang berada di sana. Tepatnya, di London, Inggris, ia tinggal beberapa bulan dengan kawannya itu. Baru setelah itu ia pindah ke Paris, Perancis, karena mulai merasa tak nyaman lagi dengan Inggris. Beberapa minggu di Paris, tak jauh dari bundaran Place Charles de Gaulle, dengan senyum yang akhirnya merekah cerah di bibirnya, katanya: ia bertemu dengan Ayah, untuk pertama kalinya.    
 
“Awalnya Ibu tak tertarik menjalin hubungan dengan Ayahmu,” kata Ibu, begitu mulai menceritakan kisah kasih mereka padaku. “Tapi karena melihat kegigihannya mengejar Ibu setelah itu, akhirnya Ibu luluh juga.”

Kau tentu tahu bagaimana leganya aku ketika cerita Ibu akhirnya beralih ke soal romantikanya dengan Ayah kita yang memang rupawan itu. Bibir tipis Ibu tersenyum semakin rekah setiap kali mengingat kegilaan dan perjuangan yang dilakukan lelaki berwajah tirus dan berhidung mancung itu. Ibu memang selalu nampak cantik sekali bila tersenyum, persis sepertimu. Kau beruntung mewarisi senyum Ibu yang indah.

Tetapi, kau juga tahu kan, betapa tak sukanya aku dengan cerita roman? Meskipun kisah yang akhirnya kudengarkan dari mulut Ibu itu adalah kisah cinta orang tuaku sendiri, aku tetap merasa geli mendengarnya. Maka lebih baik tak kuperpanjang kisah itu, karena kau pun tentu sudah tahu bagaimana kedua orang tua kita yang malang itu bertemu lalu memutuskan hidup bersama. Aku ingat, kau pernah bertanya soal kisah kasih mereka langsung kepada Ibu dulu. Kau bertanya saat di ruang keluarga yang kebetulan sedang ada aku, yang akhirnya pergi menjauh karena tak sudi mendengarkan kata-kata Ibu yang pasti akan menggelitik pikiranku.

Maka begitulah, awal dari keputusanku pergi. Bertahun-tahun aku hanya hidup sebagai pemimpi dan penahan gelisah di negeri kelahiran kita. Sangat gelisah, menunggu saat yang tepat untuk dapat segera pergi dan menginjakkan kaki di negeri kelahiran kedua orang tua kita ini, setiap waktu. Dan begitu aku menemukan waktunya, ketika akhirnya Ayah pun pergi menyusul Ibu ke surga, sebulan sebelum aku meninggalkan apartemenmu di musim dingin itu, aku merasa tak perlu berpikir-pikir lagi. Lukisan-lukisan Ayah, dan puisi-puisi Ibu, yang tak pernah lepas memuat segala hal yang mereka rindukan dari negeri yang mereka cintai ini, telah cukup membuatku berpikir selama bertahun-tahun. Bahwa aku harus sampai ke sini. Membawa pulang rindu mereka.

Kakakku, aku tahu kau tak pernah lepas memikirkan dan mencemaskanku. Kau selalu mencaritahu kabarku lewat orang yang juga sering kutanyai soal kabarmu, Tuan Barly. Lelaki tambun yang tinggal di sebelah apatermen Ayah dan Ibu. Ketika lelaki itu memberitahuku tentang kau yang akhirnya menikah dengan lelaki yang telah lama menjadi kekasihmu, aku sangat senang mendengarnya. Sangat senang. Tapi, begitu kudengar pula kabar perceraianmu dengan lelaki itu, tiga tahun setelah pernikahan kalian, betapa hancur pula hatiku di sini. Ingin aku menghubungimu saat itu, untuk turut memberimu kekuatan dan ketabahan, tapi entah kenapa, berat betul rasanya melakukannya.

Benarkah, ia meninggalkanmu lantaran kau tidak bisa memberinya keturunan? Kurasa, justru dialah yang tak bisa membuahi rahimmu sehingga ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, yang juga pasti kauinginkan.

Tapi, ya, sudahlah. Itu memang tak perlu diingat lagi. Kurasa kau pun pasti bisa segera bangkit dari kesedihan itu, karena aku tahu kau perempuan kuat, seperti Ibu. Dan apalagi, saat kau mendengar kabar pernikahanku tiga tahun setelah berita kesedihanmu itu, kau pasti senang, bukan? Tuan Barly bilang: kau sampai meneteskan air mata karena saking terharunya mendengar kabar pernikahanku.

Aku menikahi seorang perempuan yang memiliki mata bulat nan indah seperti Ibu, seperti kau juga. Ia adalah perempuan yang pertama kali kukenal setelah beberapa minggu aku menginjakkan kaki di negeri ini, di tahun 1999. Aku beruntung, karena pada saat perkenalan kami, ia tanpa ragu mengajakku ikut bergabung berkegiatan dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang hukum, tempatnya mengabdi. Ia tak peduli bahwa aku masih penduduk beridentitas asing dan anak dari sepasang suami istri yang juga tertuduh sebagai antek PKI yang melarikan diri. Ya, begitulah julukan untuk Ayah dan Ibu kita yang kudapatkan dari mulut beberapa orang begitu sampai di sini waktu itu. Tapi, itu tidak masalah. Karena penguasa yang menghadang kepulangan Ayah dan Ibu telah jatuh dari tahtanya setahun sebelum aku menginjakkan kakiku di negeri ini. Jadi, aku tak mendapatkan bahaya seperti yang kaucemaskan.

Maka begitulah, karena jadi seringnya aku bertemu dengan perempuan itu, karena kami bekerja di kantor yang sama, aku jatuh cinta padanya. Syukur, ia pun ternyata cinta padaku. Kami berpacaran tak terlalu lama, dan akhirnya kuputuskan menikahinya tujuh tahun kemudian.

Namun sayang, takdir ternyata tak menginginkan kami menjadi tua bersama. Ia meninggal karena penyakit yang dideritanya saat sepuluh tahun usia pernikahan kami. Jika benar surat ini telah sampai ke tanganmu, berarti kau telah melihat sosok gadis tiga belas tahun yang mewarisi sepenuhnya keindahan yang dimiliki almarhumah istriku itu. Ya, gadis itu putri kami, anak kami satu-satunya. Ia telah lama sekali ingin pergi ke Paris. Ia selalu merengek-rengek padaku dan beralasan ingin menemuimu. Tapi, aku baru bisa membiarkannya pergi, hari ini. Setelah akhirnya aku pun harus pergi menyusul Ibu, Ayah, dan Adik Iparmu, ke surga. Karena sakit yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.

Maafkan aku, Kakakku. Telah membuatmu kembali bersedih. Dan aku sangat berterima kasih, karena kau telah memberiku perhatian lebih sejak kepergian Ibu. Aku tak pernah melupakan itu. Jika kau tak keberatan—aku yakin kau pasti takkan keberatan—aku titipkan gadis cantikku itu padamu. Ia tak punya keluarga dekat di sini, karena almarhumah Ibunya pun adalah anak semata wayang mertuaku yang juga sudah lebih dulu tiada. Jadi, aku mohon, sayangilah ia. Ia akan dengan senang hati mengantar dan menemanimu datang ke pusaraku jika kau rindu padaku. Tidak apa-apa, datanglah. Takkan ada bahaya seperti yang kaucemaskan dulu akan menyambutmu di sini. Sebab darahmu, darah kita, darah Indonesia juga.

Rantauprapat, Februari 2019.

Sabtu, 22 Juni 2019

HOPE: Sebuah Penyesalan dan Keadilan yang Tak Berpihak


Satu film yang berkisah tentang kekerasan terhadap anak yang pernah saya tonton dan menjadi film yang paling membekas di ingatan saya adalah, film Arie Hanggara. Arie, begitu anak lelaki berumur 8 tahun yang menjadi tokoh utama di dalam film itu dipanggil, meregang nyawa setelah berhari-hari dihukum ayah kandung dan ibu tirinya dengan tindakan-tindakan yang memang luar biasa kejam. Serupa dengan film tersebut, film dari Negeri Ginseng yang berjudul Hope ini pun diangkat dari kisah nyata.

Namun bedanya dengan kisah Arie Hanggara, tokoh utama dalam film Hope ini, So-Won–yang diperankan oleh artis cilik nan cantik bernama Lee Re–beruntung tidak sampai meregang nyawa. Namun begitu, kekerasan yang diterima So-Won bukan berarti tidak membuat saya yang menontonnya tak ikut merasa nelangsa. Dampak yang ditanggung So-Won justru lebih berat dari yang ditanggung oleh Arie. Sebab So-Won harus menanggung trauma yang begitu berat dan dalam, karena bagian vital tubuhnya menjadi cacat dan kecacatan itu kemudian harus ia tanggung seumur hidup.

Adalah Nayoung, gadis kecil berumur 8 tahun yang menjadi inspirasi dibuatnya film ini. Yang menjadi sosok penanggung kisah nyata dibalik kisah pilu So-Won. Pada tahun 2008, Nayoung diperkosa dan dianiaya oleh lelaki asing berumur 57 tahun dengan inisial Cho di sebuah toilet gereja yang terletak tak jauh dari sekolah Nayoung. Sebagaimana kejadian dalam film berjudul Hope ini, Nayoung dijegat dan diseret oleh lelaki tersebut ketika dalam perjalanan berangkat ke sekolah.

Masyarakat Korea Selatan sontak bereaksi begitu kisah pilu Nayoung mencuat waktu itu. Mereka menuntut keadilan untuk Nayoung dan mendorong aparat menindak tegas para pelaku Pedofilia.

Maka atas alasan inilah barangkali sutradara terkenal bernama Lee Joonik terdorong untuk menggarap film Hope ini. Dan terbukti, pada tahun 2013–5 tahun setelah kasus Nayoung berlalu–Hope tetap sukses menyentil emosi banyak orang, termasuk saya. Tak terhitung entah sudah berapa kali saya menonton film ini. Rasanya, ini adalah film paling menguras emosi dan menyayat-nyayat hati yang belum kunjung bosan saya tonton. Bahkan sampai hari saya membuat tulisan ini, saya telah menontonnya sekali lagi.

Namun yang berbeda dari kejadian yang dialami Nayoung, di film ini, So-Won mengalami kejadian serupa yang dialami Nayoung, di lokasi konstruksi yang berada di depan sekolah So-Won. Bukan di toilet gereja.


 Sebelum sampai pada kejadian yang dialami So-Won, film dibuka dengan menampilkan kisah keseharian So-Won dan Ayah-Ibunya. Seperti halnya keluarga lain, So-Won sehari-hari hanya sibuk bersekolah dan mengerjakan tugas dari sekolah di rumah. Ibunya (Uhm Ji-won), sehari-hari hanya sibuk berjualan di toko yang terhubung langsung dengan bangunan rumah mereka. Dan Ayahnya (Sol Kyung-gu), sibuk bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik pengolahan logam. Namun ketika sudah pulang ke rumah, sang Ayah yang merupakan penggila olah raga Baseball tersebut akan asyik menonton pertandingan Baseball di televisi hingga larut malam bahkan hingga pagi, tak banyak melakukan apa-apa di rumah.

Melihat kesibukan kedua orang tuanya tersebut, So-Won yang anak semata wayang pun tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia tak pernah mau bermanja-manja dengan orang tuanya. Selain itu, So-Won juga siswi yang pintar di kelasnya. Di antara semua pelajaran, Matematika adalah yang paling ia senangi. Kecantikan dan kehebatan akting Lee Re pun tak kurang membuat saya sangat menikmati tingkah menggemaskan tokoh So-Won yang ia perankan. Sampai kemudian nasib buruk yang menimpa gadis kecil itu tiba, saya masih selalu merasa seperti tak bisa menerima keceriaan So-Won semula direnggut begitu saja.

Sedang turun hujan hari itu, ketika nasib buruk itu datang menimpa So-Won. Seperti biasa, ia berangkat ke sekolah berjalan kaki sendirian dengan mengenakan payung. Saat baru keluar rumah, Ibunya sempat menghampiri dan menawarinya diantar ke sekolah. Namun karena kesal lantaran Ibunya lagi-lagi tak sempat mengikatkan rambutnya, ia menolak tawaran ibunya tersebut. Toh lagi pula ia bisa berjalan lebih cepat jika sang Ibu tidak mengantarkan, katanya pada Ibunya pagi itu. Namun sungguh takdir tak bisa diterka, andai saja So-Won mau diantar Ibunya, peristiwa nahas yang menimpanya pagi itu pasti takkan terjadi.

Setelah kejadian, pagi itu juga So-Won yang malang berhasil dievakuasi oleh pihak kepolisian setelah So-Won yang sebenarnya sudah sangat lemah, berhasil melakukan panggilan darurat ke nomor 119 melalui ponselnya. Dalam keadaan sekarat dan penuh luka sayat, So-Won langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sana, dengan hati yang sudah pasti remuk redam, kedua orang tua So-Won pun tentu saja terkulai lemas melihat kondisi So-Won.

Lantaran melihat parahnya luka di bagian vital tubuh So-Won, operasipun tak terhindarkan. Dan agar bertahan hidup, usus besar dan anus So-Won terpaksa harus diangkat dari tubuhnya dan digantikan dengan stoma usus dan anus buatan. Yang mana lubang dari anus buatan tersebut dibuat berpindah di perut sebelah kanan. Miris sekali saya membayangkan bahwa selama hidupnya, So-Won akan membuang kotorannya (tinja) dari lubang tersebut. Dan dengan stoma usus dan anus buatan itu, So-Won takkan bisa lagi menahan kotorannya apabila hendak keluar. Kotorannya akan terus keluar dengan sendirinya dari lubang tersebut.

Sehingga untuk mencegah kotorannya keluar mengotori pakaiannya, So-Won harus terus memasang kantung Kolostomi di lubang tersebut sebagai penampung. Jika kantungnya penuh atau bocor, maka ia harus segera menggantinya dengan yang baru. Sungguh tak terbayangkan bukan, betapa menyebalkan dan menyedihkannya hidup gadis kecil itu.

Belum lagi dampak psikis yang dialaminya setelah itu. Ia menjadi takut berhadapan dengan dunia luar dan bertemu dengan orang asing. Bahkan untuk masuk sekolah lagi dan bertemu dengan teman-temannya, ia merasa malu. Ia khawatir teman-temannya mengetahui peristiwa buruk yang dialaminya dan kecacatan yang ditanggungnya. Dan yang paling menyedihkan, ia juga menjadi takut bertemu dan berhadapan dengan lelaki dewasa. Di matanya, setiap lelaki dewasa nampak seperti pelaku yang telah menghancurkan hidupnya. Tanpa terkecuali, sang ayah pun turut ia takuti.


Tapi untunglah, rasa takut So-Won pada ayahnya itu akhirnya hilang juga. Lantaran gigihnya perjuangan sang ayah mendekati anak gadisnya itu, dengan selalu mengikuti So-Won ke mana pun So-Won pergi dengan mengenakan kostum figure kesukaan So-Won: Kokomong, berhasil. Di situ, So-Won akhirnya sadar bahwa sang ayah melakukan itu semata-mata hanya karena ingin bisa berinteraksi lagi dengannya secara langsung. Dan, tentu saja, ingin melihat lagi keceriaannya. (Ah, di sini adalah momen paling mengharukan dalam film ini)


Namun sungguh momen haru itu tak bertahan lama, emosi saya kembali dibuat terbakar. Sebab satu kabar pahit datang merundung So-Won dan kedua orang tuanya, yaitu kabar mengenai hukuman untuk pelaku yang telah memperkosa dan menganiaya So-Won.

Meskipun telah melakukan kejahatan yang seharusnya terbilang luarbiasa, ternyata pelaku masih akan sangat mungkin mendapatkan hukuman yang tidak setimpal, bahkan termasuk ringan, karena pelaku memiliki pembelaan yang dianggap cukup kuat. Untuk mengantisipasi hal tersebut terjadi, kepolisian pun akhirnya terpaksa meminta So-Won bersaksi di pengadilan. Ini berat. Karena kondisi mental So-Won saat itu, belum cukup kuat untuk kembali dihadapkan dengan masalah tersebut. Kedua orang tua So-Won pun sempat menolak permintaan pihak kepolisian itu.

Namun karena tahu bahwa di dalam hati kecil So-Won sendiri pun So-Won ingin pelaku dihukum berat, kedua orang tua So-Won akhirnya menyetujui So-Won bersaksi di pengadilan. Di sinilah, saat-saat yang paling menyulut amarah dalam film ini, menurut saya.

Saya menyoroti dua hal yang memang janggal dalam proses hukum yang dijalani pelaku pemerkosa dan penganiaya So-Won, yang mana menjadi klimaks film ini.

Pertama: beberapa hari setelah kejadian, pelaku tidak bisa segera ditangkap karena surat perintah penangkapan belum keluar dan diterima oleh kepala penyidik yang menangani kasus tersebut, Sebab bukti yang mengarah kepada pelaku dianggap belum cukup kuat. Padahal, di lokasi kejadian telah ditemukan sidik jari dan rompi milik pelaku. Namun sungguh aneh, kedua bukti tersebut tetap dianggap belum cukup kuat.

Kontras sekali dengan proses penyelidikan di Indonesia. Di negeri ini, bahkan cukup dengan salah satu dari kedua bukti itu saja, seseorang pasti sudah bisa diringkus dan ditahan polisi.

Maka atas alasan itu, dengan sangat terpaksa, kepolisian harus mendapatkan penjelasan dan kesaksian langsung dari So-Won agar bisa menangkap pelaku tanpa surat perintah penangkapan. So-Won yang baru tiga hari selesai dioperasi dan masih dalam kondisi mental yang sangat tidak stabil kala itu, bersyukur sekali bisa memberi kesaksian dengan bantuan terapis (seorang perempuan tua yang membantu pemulihan psikis So-Won).

Kedua: di persidangan, pelaku terus membantah kalau dirinya telah berbuat jahat pada So-Won, karena pada hari kejadian ia mengatakan dirinya sedang dalam keadaan pengaruh alkohol dan tidak ingat apa-apa. Katanya lagi: ia tidak pernah tahu apa pun yang ia lakukan apabila sedang dalam pengaruh alkohol.

Aneh sekali, bukan? Bagaimana bisa ia yakin ia tidak berbuat jahat kepada So-Won sementara ia yakin kalau ia tidak bisa mengingat apa-apa jika sedang dalam pengaruh alkohol? Bukankah itu sama saja seperti seseorang yang sudah tahu kalau ia mengidap sleep walking tapi ia tidak percaya kalau ia telah berjalan sendiri dari tempat tidurnya ketika mendapati dirinya sudah berada di tempat lain?

Karena menimbang pernyataan pelaku itulah hakim pun menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara. Untuk tindak pidana luar biasa seperti itu, hukuman 12 tahun penjara memang tidak tepat rasanya. Maka pantaslah masyarakat Korea Selatan berang karena pelaku yang telah menghancurkan hidup Nayoung pun hanya dihukum segitu. Jika saja hakim tidak menimbang hal tersebut, pelaku pasti dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Apalagi, pelaku adalah mantan narapidana yang pernah melakukan kejahatan yang sama: Pedofilia.

Tepat setelah hakim membacakan putusannya, seorang hadirin sidang (teman baik ayah So-Won) yang merasa hukuman tersebut terlalu ringan, spontan bereaksi dengan mengatakan, "jika ia bisa selamat dari hukuman berat karena pengaruh alkohol, maka berkendara dalam pengaruh alkohol pun seharusnya tidak pernah dihukum". Namun hakim mengabaikannya dan ruang sidangpun menjadi ricuh.

Benar sekali. Bagaimana mungkin kejahatan yang dilakukan karena pengaruh alkohol bisa dapat pemakluman, apalagi kejahatan yang dilakukan tergolong luar biasa dan telah dilakukan berulang-ulang? Sungguh tidak adil. Masyarakat pantas merasa dicederai oleh karena itu.


Namun, apa boleh buat. Bukan bermaksud ingin pasrah, tapi memang begitulah yang pada akhirnya harus terjadi. Yang mungkin memang ditakdirkan untuk Nayoung (dalam film: So-Won). Ternyata keadilan tidak berpihak padanya. Sehingga satu-satunya cara yang memang harus ditempuh oleh So-Won dan orang tuanya hanyalah berlapang dada. Menunggu hukuman dari Tuhan datang menjerat pelaku. Jika harus menyesal, So-Won juga pasti menyesal karena tidak mengikuti kata hatinya hari itu, saat ia berangkat ke sekolah dan sedang turun hujan. Ia tetap memaksa lewat dari jalan raya untuk sampai ke sekolah karena perintah sang Ibu. Jalan yang ternyata justru mempertemukannya dengan pelaku yang memberinya nasib buruk.



Identitas Film:

Judul Film: Hope
Negara: Korea Selatan
Tahun Rilis: 2013
Sutradara: Lee Joonik
Aktor: Lee Re (So-Won), Sol Kyung-gu (Ayah So-Won), Uhm Ji-won (Ibu So-Won)

Rabu, 09 Januari 2019

Cerpen: Tempatku Bukan Di Sini

Sepertinya, aku mengidap penyakit serius. Mungkin juga berbahaya. Usai diperiksa dokter beberapa menit lalu, raut muka manusia-manusia itu—termasuk manusia yang biasa memberi aku dan dua saudaraku makanan—nampak tak menyenangkan. Aku langsung mereka pindahkan ke dalam kandang jeruji besi berukuran kecil dan sempit ini.

Jika benar begitu, mungkin lebih baik penyakit ini segera saja merenggut nyawaku. Aku sudah tak tahan lagi. Aku tahu manusia-manusia itu takkan ada yang berusaha membuatku sembuh. Mereka akan membiarkanku. Membantuku sekadarnya. Atau kalau pun memang mereka akan berjuang menyembuhkanku, aku rasanya tetap tak begitu senang. Karena hidup di sini juga hanya untuk merasakan pilu belaka.

Tak seperti sekira Sembilan tahun lalu, saat aku masih berusia dua tahun, aku masih hidup dalam pelukan ibuku. Kami makan, tidur, dan berkeliaran bebas di tengah hutan. Tepatnya, di hutan bagian utara pulau Sumatra. 

Pohon-pohon dan hutan sangat mencintai kami. Makanan berlimpah disuguhkan hutan kepada kami karena kami terus membantu. Menyebar biji-biji untuk pertumbuhan pohon dan membuka daun-daun pepohonan yang tumbuh menutupi tubuh hutan dari sinar matahari. Tak banyak penghuni hutan yang dapat melakukan semua itu. Selain kami. Spesies kami: Orangutan.

Namun, manusia—makhluk yang sebenarnya paling bengis dan menjadi ancaman terbesar kami selain Harimau Sumatra—banyak yang serakah dan tak punya belas kasih. Hutan terus mereka gunduli dan menangkap dan membunuh makhluk-makhluk yang dicintai dan mencintai hutan. Termasuk aku dan ibu.

Ah, itu adalah kejadian paling memilukan dalam hidupku. Suatu pagi, ibu kembali ke sarang kami dari mengambil buah Neesia untukku dengan cemas dan ketakutan. Belum sempat aku memakan buah Neesia yang dibawakannya, ibu langsung menggendongku dengan sebelah tangannya untuk keluar dari sarang. Aku bertanya padanya, “apa yang terjadi?” Dengan tingkah terburu-buru, ia langsung menjawab, “kita harus menjauh dari sini, karena ada sekelompok manusia datang menebang pohon-pohon di sekitar sarang kita.” 

Ibu takut pohon tempat sarang kami berada juga akan ikut ditebang. Atau, jika pun tidak ditebang, ibu takut sekelompok manusia penebang itu akan melihat keberadaan kami lalu menangkap kami. Sebab ibu pernah melihat bagaimana ngerinya keluarga Orangutan lain ditangkap oleh sekelompok manusia beberapa tahun sebelum itu. Ditangkap dengan cara yang benar-benar tidak punya belas kasih.

Maka demi menghindari itu, ibu membawaku pergi ke arah entah. Ibu memintaku naik dan berpegangan di punggungnya selama perjalanan melompat dan bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari tempat aman. Beberapa kali ibu terpaksa menghentikan perjalanan untuk beristirahat dan menghindari intaian Elang Hitam yang terbang melintas di atas kami. Ibu melompat ke pohon yang ranting dan daunnya  lebih lebat agar kami dapat bersembunyi dari si Elang Hitam. Sebab hewan yang satu itu, adalah predator yang juga takkan segan memangsa spesies kami. Ia pasti akan mendekat dan merobek kulit dan daging kami dengan paruh dan cakarnya yang tajam bila kami dilihatnya.

Hingga sore menjelang, ibu barulah menemukan tempat aman buat kami. Aku turun dari punggungnya lalu ia pergi mencari makanan untukku. Sementara aku menikmati makanan, ia kemudian membangun sarang baru, karena malam akan tiba dan kami tak mungkin tak punya tempat berteduh dari dingin malam dan intaian predator lain. Kami aman dan nyaman malam itu, dan hingga malam berikutnya. Namun tidak pada malam berikutnya lagi. Aku didera senyata-nyatanya mimpi paling buruk.

Aku menangis terus semalaman itu dan berharap kejadian yang baru saja menimpaku dan ibu adalah benar-benar mimpi buruk dan aku bisa segera terbangun. Tapi nyatanya tidak. Hingga esok pagi menjelang, aku masih tak percaya bahwa aku telah kehilangan ibu. Ya, ibu hilang secara tragis. Oleh manusia.

Peristiwanya terjadi pada sore sebelumnya. Aku dan ibu keluar sarang untuk mencari makanan. Saat itu, kami baru mengetahui kalau ternyata tak jauh dari sarang kami terdapat sebuah perkebunan kelapa. Kami tentu senang melihat banyak pohon kelapa terhampar di depan mata kami. Apalagi sedang berbuah dan matang pula. Kami merasa punya stok makanan yang berlimpah untuk beberapa hari ke depan.

Namun ketika tak berapa lama kami telah naik ke satu pohon kelapa, dan baru memetik satu buah, satu manusia datang dan berteriak dari bawah. Dari gelagatnya aku bisa melihat kalau manusia itu sedang marah, karena teriakannya yang tak henti-henti sambil mengacungkan sebelah tangan ke arah kami.

Awalnya, aku merasa biasa saja. Apa yang ia katakan dan kenapa ia marah, aku tak peduli karena aku tak tahu. Sampai aku melihat ibu yang berubah ketakutan, barulah aku sadar bahwa kami berada dalam bahaya. Manusia itu pergi beberapa saat lalu kembali lagi dengan bambu panjang yang terpasang celurit di ujungnya dan beberapa manusia. Kami kemudian disorong-sorongnya dengan ujung bambu bercelurit itu. Ibu akhirnya jatuh dan terhempas ke tanah karena celurit itu berhasil membuatnya lemas setelah berkali-kali menusuk dan merobek tubuhnya. Sedang aku, jatuh tanpa segores pun luka. Tubuhku ditampung dengan terpal lebar oleh beberapa teman manusia itu begitu hendak menyentuh tanah.

Sebelum aku dibungkus dengan terpal penampungku, aku sempat melihat ibu yang terkapar di tanah berlumuran darah. Satu manusia menendang tubuhnya untuk memastikan: apakah ia sudah mati atau belum. Aku berharap ibu tak mati. Tapi begitu kulihat kedua matanya yang tertutup, aku segera tahu bahwa harapanku ternyata pupus adanya. Ibu mati di usianya yang baru beberapa minggu menginjak Sembilan tahun.

Sejak itulah, hidup kurasakan hanyalah pilu belaka. Beberapa bulan aku tinggal dalam kandang kayu berukuran kecil di teras rumah manusia yang membunuh ibu. Aku diberinya makanan sisa keluarganya dan hanya sesekali buah-buahan utuh. Jika aku dirasa bau, aku akan diseret keluar kandang dengan tali yang dijeratkan ke leherku, untuk dimandikan dengan air dingin dengan kedua tanganku diikat tali terlebih dahulu. Selama itu tubuhku jadi kurus dan aku sering dilanda sakit, tapi manusia itu sungguh tak pernah peduli. Barang sekali pun.

Sebulan terakhir dalam sekapannya, barulah si pembunuh ibu itu agak lebih perhatian padaku. Tiba-tiba saja. Ia mendatangkan dokter untuk memeriksaku, mencekokiku ramu-ramuan, memberiku buah-buahan segar, dan rutin membersihkan kandangku. Sempat aku merasa aneh melihatnya. Namun belakangan aku tahu bahwa itu semua ia lakukan lantaran ia telah menemukan manusia lain yang mau membeliku. Dari situ aku akhirnya tahu kenapa saat memaksa aku dan ibu turun dari pohon kelapa, si pembunuh itu berusaha untuk tidak melukaiku. Ternyata sejak awal ia telah berniat akan menjualku.

Maka aku sudah nampak lebih sehat ketika manusia yang mau membeliku datang melihat. Bobot tubuhku naik, dan bulu-buluku yang semula banyak rontok telah tumbuh lebat lagi. Si pembeli memandangku dengan cahaya mata cukup girang. Namun tidak denganku. Bahaya lain yang mungkin lebih pilu, kutangkap dari matanya.

Tapi ternyata, firasatku salah. Si pembeliku itu adalah manusia kaya yang memiliki halaman rumah yang sangat luas dan keluarga yang sangat baik. Aku ditempatkan dalam kandung jeruji yang juga cukup luas dengan banyak burung cantik di dalamnya. Ada tanaman-tanaman seperti pepohonan, yang bisa kupanjat dan kegelantungi. Dan buah-buahan segar dan enak juga selalu disediakan untukku setiap pagi. Di sanalah aku kemudian mengenal beberapa buah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Satu manusia kecil yang sangat baik—anak dari si pembeliku—sering memberikanku buah-buahan itu. Buahnya terasa sangat dingin dan berkeringat.

Tapi, tetap saja. Meski betapa bahagianya kurasakan tinggal di situ, itu bukanlah hutan: tempat di mana seharusnya aku tinggal. Aku tetap merindukan ibu, buah Neesia, dan rimba raya yang mengandung begitu banyak rahasia. 

Pernah suatu kali aku menderita diare, setelah hampir dua tahun tinggal menjadi peliharaan si pembeliku itu, badanku lemas sehingga aku lebih banyak tidur. Dalam beberapa kali tidurku, aku bermimpi hutan memanggilku. Suara terdengar sangat sedih. Sungguh mimpi itu terasa begitu nyata. Sampai-sampai, ketika aku merasa telah cukup bertenaga karena sudah agak baikan, aku langsung memberontak ingin keluar dari kandang, untuk pulang kembali ke pelukan hutan. Namun karena tak bisa keluar, aku lantas menghancurkan apa saja yang kulihat di dalam kandang. Tanaman, makanan, dan pernak-pernik yang menghiasi isi kandang, tak ada yang lepas dari amukanku. 

Itulah saat pertama kalinya aku merasa benar-benar kehilangan kendali. Kepalaku rasanya penuh dengan suara rintih panggilan hutan yang tak bisa kupenuhi. Saat setelah entah berapa lama aku mengamuk, aku tiba-tiba merasa lemas kembali karena kurasakan sesuatu menancap di punggungku. Aku pingsan cukup lama, lalu sadar kembali dengan rasa lapar tak tertahankan.

Tiga tahun setelah kejadian itu, setelah hampir lima tahun aku dipelihara si pembeliku, nasib buruk yang lain ternyata kembali menghampiriku. Entah karena apa, aku dijual kembali oleh pembeliku itu, kepada manusia yang membuatku harus berlatih melakukan beberapa permainan dan atraksi yang sangat aneh. Semula, aku tak tahu untuk apa aku melakukannya. Hingga kemudian aku dibawa masuk ke sebuah arena pertunjukan yang penuh dengan tatapan manusia, karena telah mahir melakukan semua permainan dan atraksi yang diajarkan, barulah aku tahu ternyata aku diikutkan dalam satu kelompok sirkus. 

Jadi, di sinilah aku sekarang. Hampir empat tahun sudah, aku ikut dibawa berpindah-pindah kota, dan melakukan apa pun yang diperintahkan sang pawang, sebagaimana yang telah diajarkan padaku, semata-mata demi mendapatkan rasa takjub dan tepuk tangan manusia-manusia yang hadir menyaksikan pertunjukan. Mereka senang dan tak peduli bagaimana hari-hari pedih yang kujalani ketika berada di balik arena pertunjukan. Dan tak peduli, bahwa tempatku sebenarnya bukanlah di sini.


Rantauprapat, Januari 2019.

Selasa, 21 November 2017

Cerpen: Ciuman Pertama

Setelah masuk dan mengucap salam, Bobby langsung melempar tubuhnya--jatuh ke atas salah satu sofa di ruang tamu. Ia tidak lelah, tapi wajahnya nampak kusut. Lebih kusut dari pakaian yang belum sempat digilas panas setrika.

"Bukannya ganti baju, malah tiduran!" Ibunya tiba-tiba datang menghampiri. "Kusut, dong, itu seragamnya. Kan besok masih dipakai lagi. Ganti dulu, sana."

"Iya, ma. Bentar."

Bobby menutup wajahnya dengan sebelah lengannya. Seperti enggan dilihat dan melihat ibunya

Nggak biasanya ini anak begini, batin ibunya.

Ketika sang ibu hendak meninggalkan ruangan itu, ponsel Bobby tiba-tiba berdering. Langkah ibunya jadi tertahan sekejap. Menatap Bobby yang langsung menarik ponsel dari saku celana. Bobby melihat sekejap nama penelepon yang muncul di layar. Bukannya diangkat, Bobby malah mengabaikannya. Ponsel itu ia lempar pelan ke atas meja yang ada di sebelahnya, di depan sofa yang sedang ia tiduri.

"Kok nggak diangkat?" Tanya ibunya yang masih memperhatikan.

"Nggak apa-apa, ma. Males."

"Males?"

Jawaban itu membuat ibunya jadi penasaran. Dengan cepat ibunya kemudian melangkah mendekati meja. Melihat ke ponselnya. Menyelidik, siapa gerangan yang menelepon?

Cindy

"Kamu lagi berantem ya sama Cindy?" Tanya ibunya lagi. Semakin penasaran. Dan mulai menebak-nebak dalam hati.

Namun sayang, bukannya memberi jawaban, Bobby malah diam seribu bahasa. Lalu, dengan wajahnya yang terlihat kesal, ia langsung mengangkat tubuhnya beranjak dari sofa. Mengambil tas sekolahnya dan ponselnya, lalu pergi meninggalkan ibunya yang menatapnya heran. Masuk ke kamar.

Dasar remaja, ucap ibunya kemudian dalam hati, sambil menghela napas dan bergeleng kecil.

Di kamar, Bobby hanya melepas kemeja seragamnya, lalu rebahan lagi di atas kasur. Ia terpaku menatap langit-langit kamar. Namun tatapan itu kosong. Ia memikirkan lagi, sesuatu yang telah membuat mukanya jadi kusut dan terlihat agak kesal.

Kemarin, seperti biasa, ia mengantar Cindy (teman sekelas sekaligus kekasih hatinya) pulang terlebih dulu naik sepeda motornya, setelah itu barulah ia pulang ke rumahnya. Tapi, kemarin itu, ketika baru sampai di depan pagar rumah Cindy, ia tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil. Ia meminta ijin pada Cindy agar diperbolehkan memakai WC sebentar. Cindy dengan senang hati mengantarnya.

Setelah menunjukkan letak WC di dalam rumahnya, Cindy bergegas mengganti pakaian ke kamar. Selagi Bobby di WC, pikirnya.

Namun ternyata Bobby selesai lebih dulu. Keluar dari WC ia langsung memanggil Cindy beberapa kali. Sambil melirik ke beberapa ruangan tak berpintu di dalam rumah itu. Mungkin setelah lima atau enam kali memanggil, barulah Cindy menyaut. Berteriak dari dalam kamarnya. Meminta Bobby menunggu dulu di ruang tamu.

Baru beberapa detik menunggu di ruang tamu, Bobby sontak terperanga melihat Cindy keluar dari balik tembok ruangan sebelah, sudah mengenakan pakaian yang tak pernah dilihatnya selama dua tahun mereka berteman di SMA dan delapan bulan berpacaran. Luarbiasa, pikirnya. Dada serasa mau meledak. Ia deg-degan dan agak panik.

"Ayang kok liatnya gitu sih?!" Tanya Cindy setelah duduk di sebelah Bobby.

Bobby tersenyum kaku. Menelan liur, dan bertingkah kebingungan. Ia mencoba memulihkan kesadarannya yang kacau dibikin penampilan kekasihnya itu.

"Nggak, nggak apa-apa, kok. Aku pangling."

"Pangling?"

"Iya. Ayang cantik banget."

Meski sama-sama tahu, Cindy tidak sedang dalam riasan makeup. Kata "cantik" jelas bukan kata yang tepat untuk memuji penampilannya. Karena yang sedang menjadi pusat perhatian Bobby bukanlah wajahnya. Melainkan kulit putih dan mulus yang terpampang di leher, dada, lengan, paha, dan betisnya. Harusnya kata yang lebih tepat adalah, seksi atau menggoda. Tapi karena pertanyaan Cindy membutuhkan jawaban, mungkin spontanitas pikiran Bobby menganggap dua kata itu terlalu frontal jika diucapkan pada kekasihnya itu. Ia akan dianggap buruk. Maka kata "cantik", agaknya lebih tepat, pikirnya.

"Gomballll..."

Cindy mendorong sebelah bahu Bobby dengan sebelah sikunya. Bobby hampir tumbang. Benar-benar tak kuat menahan dorongan itu dan godaan penampilan Cindy yang hanya memakai celana jeans ketat dan pendek. Yang pendeknya hampir mendekati selangkangan. Dan baju kaos ketat yang lengannya hampir tak ada dan kerahnya yang lebar memampangkan dada. Yang panjangnya membuat kulit putih perut Cindy agak terlihat.

Benar-benar petaka yang nikmat, pikir Bobby tak henti-henti.

"Ya udah, Ayang mau langsung balik, kan?" Tanya Cindy.

"Mmm..." Bobby melihat jam tangannya. "Entar dulu deh."

"Bagus deh kalo gitu. Aku jadi ada temennya." Cindy bertingkah manja. Dan senyum kegirangan.

"Emang, adik Ayang ke mana?" Tanya Bobby.

"Sepulang sekolah biasanya dia ke rumah tanteku dulu, di dekat sekolahannya. Jam setengah tiga atau jam tiga baru dia pulang ke rumah."

"Mmm." Bobby mengangguk. "Terus, papa sama mama?"

"Kalo mama biasanya sore udah pulang. Tapi kalau papa seringnya agak maleman."

Untuk sekejap, aman, pikir Bobby kemudian. Tanpa diundang sebuah keinginan yang tak pernah ia inginkan sebelumnya tiba-tiba datang. Memberontak di dalam kepalanya. Ayo cepat, langsung saja, sikat boss... begitu kata keinginan itu kira-kira.

Hubungan mereka yang biasanya tak jauh-jauh dari jalan ke kafe dan bioskop, cokelat dan es krim, seketika melangkah terlalu jauh.

Sejurus--dua jurus gombalan yang terkesan memaksa, kemudian dilontarkan Bobby untuk Cindy. Meski berkali-kali Cindy merasa agak mual mendengarnya, Bobby tetap tak patah arang. Tak peduli. Terus saja mengatakannya.

Setelah menggeser tubuhnya mendekati Cindy, Bobby akhirnya mendaratkan bibirnya tepat di tempat yang sudah ia incar-incar: bibir tipis dan merah muda kekasihnya yang cantik itu.

Dalam gebuan nafsu sang kekasih, Cindy nampak seperti benar-benar menikmati. Ia larut dan hanyut. Tapi kadang, ia terlihat agak pasrah. Matanya enggan terbuka.

Setelah beberapa menit berlangsung, ciuman itu akhirnya terhenti. Cindy merasakan ada sesuatu yang mendorong dari dalam dirinya. Ia tiba-tiba jadi takut. Dengan sangat tergesa-gesa ia kemudian meminta Bobby segera pulang.

Keesokanharinya, ketika mengantar Cindy pulang tadi tepatnya, setelah Cindy turun dari sepeda motor lalu berdiri di sebelah Bobby yang tetap duduk di atas sepeda motor, entah kenapa Bobby tiba-tiba membuka pembicaraan tentang ciuman yang mereka lakukan kemarin itu.

"Ciuman kemarin asik, ya?!" Ucap Bobby sambil cengar-cengir.

"Apaan sih, Yang?!" Cindy cemberut manja. Menggemaskan. "Nggak lagi-lagi pokoknya."

"Yah, kok gitu?"

"Iya, nanti Ayang jadi nakal."

Bobby tersenyum. Ia tidak merasa cemas dengan jawaban itu. Ia yakin Cindy tidak serius dengan perkataannya. Dan sangat yakin, Cindy pasti masih akan memberikan ciumannya lagi. Suatu saat nanti. Di kesempatan yang lain.

"Tapi jujur, itu bener-bener ciuman pertamaku lho, Yang." Kata Bobby dengan wajah serius.

"Iya, iya, kamu udah bilang semalem di telepon."

Bobby menyeringai lagi. "Kalo ayang? Itu ciuman pertama juga, kan?"

"Mmm... ketiga."

Badan Bobby lunglai mendengarnya. "Ah, ayang... serius, dong."

"Iya, beneran, ketiga." Wajah Cindy berubah serius.

"Kamu bercanda, deh!"

"Loh, gimana sih?! Dibilang beneran, ketiga."

Mereka tiba-tiba jadi terdiam. Beberapa detik hanya saling tatap. Raut wajah keduanya pun nampak sama seriusnya. Tapi Bobby tetap masih kurang yakin dengan jawaban gadis itu. Ia menunggu jawaban yang sebenarnya. Tapi kemudian, ia malah kesal karena Cindy terlihat seperti mempermainkannya. Tetap diam, tak mau menjawab jujur. Ia lalu melepaskan tatapannya dari wajah Cindy dan menyalakan kembali mesin sepeda motornya.

"Loh, loh, Yang, kok pergi? Tunggu dulu, aku bercanda. Ayang salah paham, biar kujelasin lagi." Cindy menarik sebelah tangan Bobby. Berusaha menahannya agar tidak pergi.

"Awas!!" Terlambat. Bobby benar-benar kesal. Ia melepaskan paksa tangan Cindy, dengan kasar.

Cindy terpaksa membiarkan Bobby pergi dengan marahnya yang ia pikir cukup beralasan. Ia lalu berjalan masuk ke rumah sambil menatap ponselnya yang cepat-cepat ia tarik dari dalam tasnya. Ia menghubungi nomor telepon Bobby. Tapi sia-sia saja. Jelas tidak akan diangkat. Sebab Bobby baru saja pergi, dan sudah pasti masih di jalan. Ia pun jadi takut.

Di kamar, Bobby masih asyik merenung. Memikirkan lagi semua itu. Terkadang ia merasa agak bersalah. Namun terkadang lagi, ia merasa benar. Bimbang. Ia kemudian meraih ponselnya yang ia taruh tak jauh di sebelah tubuhnya. Ditatapnya ponsel itu. Pemberitahuan di layar langsung membuatnya agak terkejut. 15 panggilan tak terjawab, dan 7 pesan WhatsApp dari Cindy, belum terbaca. Ponsel itu tak terdengar berdering karena ia telah mengubah silent mode sebelum masuk ke kamar, tadi.

Plis, angkat telponku.
Ayang, angkat, dong.
Aku bakal jelasin kalau ayang angkat telponku.
Ayang salah paham tauuu..
Plis angkat, dong.
Ayaaaaanggg.... angkaaaattt.
Ya sudah, terserah, deh..

Pesan WhatApp Cindy yang terakhir langsung membuat rasa bersalahnya jadi lebih besar. Kata "terserah" terasa seperti petaka paling buruk baginya. Ia langsung membalas pesan kekasihnya itu.

Kamu bohongi aku. Ngomongnya baru pacaran sama aku, tapi kok ciuman udah tiga kali? Kamu ciuman sama siapa sebelumnya?

Pertanyaan Bobby hanya dibaca oleh Cindy. Tapi, setelah itu layar ponsel Bobby tiba-tiba jadi redup-terang. Cindy memanggil.

"Ayang tu kebiasaan, deh. Main marah-marah aja. Main ngambek-ngambek aja. Harusnya dengerin dulu." Cindy langsung mencerocos setelah teleponnya diangkat.

"Ya udah, buruan, jelasin." Kata Bobby ketus.

"Ciuman pertama, sama laki-laki berkumis kesayangan aku."

"Nah, kan, malah becanda."

"iihhh.. apaan sih, siapa yang becanda? "

"Kamu kencan sama Om-Om?"

"Enak aja! Laki-laki itu papaku, tau..."

"Papa kamu?"

"Iya. Dulu, waktu aku kecil sampe SD kelas 5, aku sering cium bibir sama papaku. Biasanya kalo pas diantar ke sekolah, ciuman dulu. Tapi setelah aku kelas 6 aku nggak mau lagi. Soalnya papaku kumisnya tambah tebal. Aku gelik."

"Hahaha..." Bobby tertawa terpingkal-pingkal. "Terus yang kedua pasti mama kamu?"

"Haha, iya. Mamaku yang kedua. Tapi aku nggak tau juga, sih. Mungkin mamaku yang pertama. Nyiumnya pas aku bayi. Papaku yang kedua. Soalnya, seingatku dulu mamaku memang nggak mau cium bibirku. Aku yang suka maksain dia buat ciuman sama aku. Katanya, napasku bau."

"Hahaha.." Bobby kembali terbahak-bahak. "Iya, Yang. Napas kamu emang bau. Kemarin juga bau. Tapi nggak apa-apa, enak kok."

"Oh, gitu. Oke fine. Awas ya kalo nyium-nyium lagi."

"Eh, nggak, Yang. Nggak. Becanda." 

Senin, 13 November 2017

Pengalaman Pertama Membedah Buku

Kafe Kampong. Tempat acara bedah buku Detak Surga dilaksanakan
"Ri, bisa jadi pembedah buku nggak? Insya Allah tanggal 10 Nopember ini kita mau bikin acara bedah buku karya anak pak Kepala Dinas Pendidikan."

"What?"

Pertanyaan sekaligus pernyataan (permintaan) itu spontan membuatku terkejut, sekaligus tak percaya juga. Aku? Membedah buku? Are you serious?!

Seorang lelaki yang baru kukenal berminggu-minggu yang lalu mengirimkan pertanyaan dan pernyataan itu ke WhatsApp-ku. Ia adalah ketua Forum Masyarakat Literasi di kota kelahiranku, Rantauprapat. Bang Jumain, namanya.


Jumain Hasibuan, Ketua Forum Masyarakat Literasi Labuhanbatu
Kupikir, ia jelas tidak mungkin bercanda ketika menanyakan itu padaku. Hanya saja aku agak penasaran, masa iya ia berpikir aku sudah cukup pantas membedah buku, karya anak Kepala Dinas Pendidikan pula. Aku cukup mengenal siapa orang yang menjabat Kepala Dinas Pendidikan. Pak Sarimpunan Ritonga. Beliau guruku di SMP dulu. Aku mungkin akan sungkan sekali jika bertemu dengannya, apalagi harus menjadi pembedah buku karya anaknya pula. Bisa-bisa sungkanku semakin tak keruan, pikirku waktu itu.


Drs. H. Sarimpunan Ritonga. Kepala Dinas Pendidikan Labuhanbatu
Jujur saja, aku belum punya cukup pengalaman yang mumpuni dalam dunia tulis-menulis. Ketika membaca karya seseorang (novel, cerpen, puisi, dan lainnya), aku hanya bisa menjadi penikmat saja, belum cukup mampu mengomentari apalagi mengkritisi. Makanya, ketika diminta bang Jumain membedah buku, aku langsung kaget.

Namun begitu aku tak menolak permintaannya itu. Karena kupikir, itu adalah peluang besar untukku. Ya, peluang untuk menunjukkan pada khalayak ramai di kotaku, kalau aku pun menulis. Telah menerbitkan satu buku.

Jam dua siang, tanggal 10 Nopember, kemarin, acara itupun dimulai. Aku datang dijemput salah seorang temanku sejak SD dulu (Bibot, si Bassis beken) dan seorang temannya.


Bersama kawanku, Bibot
Acara diawali dengan pemberian sambutan dari Kepala Dinas Perpustakaan, Ketua FML, dan Kepala Dinas Pendidikan selaku ayah dari Penulis (Anggie Yolanda) buku yang akan dibedah, Detak Surga. Lalu pemberian buku kepada ketua dan pengurus organisasi-organisasi dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diundang. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh seorang penyair Rantauprapat.


Eiwan Budi Kuswara. Perwakilan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Labuhanbatu


Penyair yang membacakan puisi, tentang Ibu
Bedah buku menjadi acara paling akhir. Selain aku, ada seorang lagi yang menjadi pembedahnya hari itu. Pak Tatang Pohan. Ia adalah penulis sekaligus penyair yang sudah sangat dikenal masyarakat literasi Rantauprapat. Ia juga sudah menerbitkan buku, lebih dari satu. Sebelum acara itu, aku baru sekali bertemu dengannya. Ketika bang Jumain mengantarkan buku Detak Surga ke rumahku, ia ikut bersamanya.

Aku benar-benar gugup setengah hidup, setelah kemudian pembawa acara memanggil namaku dan pak Tatang, untuk maju ke depan. Duduk di tempat yang telah disediakan. Saking gugupnya, langkahku bahkan jadi tak beres ketika menuju tempat yang dipersilakan untuk kami berdua. Beberapa kali aku jadi tak sengaja menginjak kakiku sendiri ketika berjalan. Ah, kacaulah...


Para undangan yang hadir dari berbagai instansi dan organisasi
Gugup itu sebenarnya sudah hidup dan hampir membunuhku sejak sehari sebelum acara itu dimulai. Aku terus kepikiran. Akan bagaimana nanti? Mau ngomong apa saja, ya? Ini-itu layak tidak, ya, dibahas? Aku sampai panik.


Aku, Pak Tatang Pohan, dan Abang Pembawa Acara



Dan sebenarnya, aku gugup bukan karena akan bicara di depan banyak orang. Aku sudah pernah mengalami itu sebelumnya. Beberapa kali. Ketika bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), di Semarang dulu. Yang membuatku gugup hari itu adalah, aku harus mengomentari dan mengkritisi karya orang lain. Pengetahuanku yang sedikit tentang sastra, membuatku merasa belum cukup yakin melakukan itu. Apalagi di hadapan banyak orang. Aku merasa belum cukup pantas.

Tapi kemudian aku teringat perkataan salah seorang seniorku di LBH dulu: "jika tak ada pengalaman pertama, maka tak ada pengalaman kedua, ketiga, dan seterusnya."

Kata-kata itu tertanam dalam di benakku. Kalau saja gugup berhasil menguasaiku, dan membuatku jadi pecundang, lalu menolak tawaran itu hari itu, mungkin saja kesempatan baik selanjutnya, kupikir akan sulit menghampiriku. Bisa jadi malah tak ada lagi. Aku pasti akan menyesal sekali jika melewatkannya.

Pengalaman pertama pasti akan ada saja salahnya. Orang-orang bilang, "itu wajar." Dari situ setiap orang akan belajar bagaimana memperbaikinya, hingga kesempatan-kesempatan selanjutnya jadi kecil kemungkinan ia kembali melakukan kesalahan, karena sudah terbiasa dan menjadi ahli.

Pemikiran itu jugalah yang membuatku mantap menerima tawaran itu hari itu. "Oke, kucoba!"



Di depan para tamu undangan (kepala-kepala sekolah, guru-guru, pejabat-pejabat pemerintah dari beberapa instansi, para pegiat literasi, dan para mahasiswa), aku berusaha berbicara sebaik mungkin. Menyampaikan hasil bedahanku sejelas mungkin. Aku terus berusaha mengalihkan gugupku agar aku bisa bicara dengan jelas.

Aku punya cara paling mutakhir agar tidak gelagapan bicara di depan publik. Yaitu dengan menatap dalam mata orang yang memperhatikanku dengan seksama. Orang yang tetap menjaga fokusnya padaku ketika aku bicara. Karena orang yang begitu adalah orang yang bisa memberitahu apakah kata-kataku dapat dipahami atau tidak.

Jika orang yang fokus menatapku itu berekspresi bingung, maka artinya kata-kataku belum cukup jelas. Berarti aku harus memperbaikinya, mengulanginya dengan kata-kata yang kuanggap harus lebih mudah dipahami. Meski makna dan maksudnya sama dengan kata-kata sebelumnya. Tetap harus kuulang. Pengulangan itu tak lain bertujuan untuk tetap menjaga fokusnya padaku. Karena ketika ia sudah merasa bingung, dan merasa tak mendapat penjelasan (karena tidak kuulangi), bisa jadi ia akan berhenti memperhatikanku. Bagiku, itu bahaya. Karena sampai akhir aku bicara ia bisa-bisa tidak memperhatikanku lagi.

Membalas tatapan orang yang memperhatikanku ketika berbicara di forum atau acara seperti itu kuanggap sebagai wujud apresiasiku karena ia telah mau memperhatikanku dengan baik.

Aku tidak akan peduli pada orang yang tidak memperhatikanku. Karena jika kupedulikan mereka akan membuat buyar pikiranku. Membuat gugupku semakin merajalela.


Saat penyerahan buku kepada perwakilan organisasi-organisasi
Terbukti, hingga acara selesai, aku berhasil membuatnya jadi mudah. Meski hasilnya mungkin tetap kurang begitu baik. Wajar, pengalaman pertama. Yang terpenting apa yang kusampaikan bisa diterima dan dipahami. Semoga.. 



Aku senang bisa menjadi bagian dari acara itu. Aku tak hanya mendapat pengalaman baru, tapi semangat menulisku juga semakin bertumbuh. Acara itu benar-benar menunjukkan bahwa penulis pun ternyata mendapat perhatian dari masyarakat Rantauprapat. Aku senang sekali.

Dengan begitu, aku semakin yakin untuk terus mewujudkan mimpi besarku di kota kelahiranku ini. Semoga Tuhan selalu merestui jalannya. Aamiin…